Tahun Reformasi GMIM
Betapa Tidak Menariknya Komunikasi Politik Pemerintah        
                        Tiga puluh sembilan tahun lalu, Soe Hok Gie menulis artikel berjudul “Betapa Tidak Menariknya Pemerintah Sekarang”. Artikel itu dimuat di Kompas, 16 September 1969. Dalam tulisannya, Hok Gie mengkritik kabinet baru di bawah Presiden Soeharto karena ada kesenjangan antara persepsi masyarakat dengan kinerja pemerintahan saat itu. Menlu Adam Malik yang bolak-balik ke luar negeri dipersepsi masyarakat hanya melakukan diplomasi untuk cari utang demi kelangsungan hidup republik.

            Kini, walau sudah berlalu tiga dasawarsa lebih, judul tulisan Hok Gie masih terasa nyambung dengan psikologi politik rakyat dewasa ini. Khususnya psikologi rakyat paska kenaikan harga BBM sebesar 30 persen. Suasana hati rakyat sekarang ini sedang “kemrungsung”. Ibarat lahar pada kawah gunung berapi yang panas dan menggelegak, lahar itu butuh saluran baru agar bisa mengalir mengurangi beban kawah agar tidak jebol. Demonstrasi mahasiswa yang mengecam kenaikan harga BBM, sumpah serapah rakyat terhadap harga sembako yang terus membumbung naik, atau warga yang mengakhiri hidupnya dengan jalan bunuh diri, adalah upaya untuk keluar dari kesumpekan hidup. Jalan yang terakhir memang tak perlu ditiru, walau telah berhasil menyentakkan hati nurani seluruh anak bangsa tentang realita kemiskinan di negeri ini.

            Namun di tengah penderitaan rakyat, pemerintah justru menambah luka hati rakyat dengan mengembangkan komunikasi politik yang kurang empatik. Terkadang bahkan terkesan melecehkan akal sehat rakyat. Para pembantu presiden mengeluarkan berbagai pernyataan yang terkesan “angkuh”. Tak menghargai perasaan dan terkesan melecehkan daya nalar rakyat.. Wajar jika judul tulisan Hok Gie seolah mewakili perasaan rakyat dewasa ini. 

 

            Komunikasi Kehilangan Empati

            Simak misalnya pernyataan Wapres Jusuf Kalla yang mengatakan bahwa pencabutan subsidi BBM bukan untuk menyengsarakan rakyat kecil. Kata sang wapres, justru orang kaya yang akan terkena dampak kenaikan harga BBM. Karena itu mahasiswa atau warga yang melakukan demonstrasi menentang kenaikan harga BBM, dianggap telah membantu orang mampu. Padahal semua orang tahu bahwa rakyat kecil umumnya tak punya mobil pribadi. Mobilitas mereka umumnya memanfaatkan jasa angkutan umum, yang jauh hari sebelum harga BBM dinaikkan sudah mengambil ancang-ancang menaikkan tarif angkutannya.  

            Wapres Jusuf Kalla tentu saja sudah mahfum. Apalagi beliau juga seorang saudagar. Jika tarif angkutan umum naik, maka harga sembako juga dipastikan akan naik. Itu karena sembako diangkut pakai angkutan umum, atau diangkut pakai kapal yang menggunakan BBM. Dus, itu berarti menambah komponen harga jual sembako.

Menko Kesra Aburizal Bakrie ketika diminta komentar wartawan tentang adanya beberapa warga yang menolak Bantuan Tunai Langsung (BLT), mengatakan bahwa BLT itu hak, bukan kewajiban. Artinya, hak itu boleh diambil, boleh juga tidak. Dikatakan olehnya bahwa tidak boleh ada pihak yang memaksa warga untuk menerima atau menolak bantuan langsung dari pemerintah itu. Sebelumnya, sewaktu masih menjabat sebagai Menko Perekonomian, ketika mengomentari harga elpiji terus membumbung tinggi, Abruizal Bakrie berujar: ”Kalau tidak bisa beli elpiji, pakai minyak tanah saja.”

Warga yang tengah “mutung” (ngambek) tak mau ambil BLT sudah tentu punya beragam alasan. Mungkin saja karena BLT dianggap hanya solusi jangka pendek, dan tidak akan memecahkan akar kemiskinan yang dialaminya. Bisa saja kerena warga tengah “kemrungsung” hatinya karena sudah tiga kali sejak SBY memerintah pada 2004, harga BBM sudah naik sampai 3 kali! Bisa juga sikap “mutung” itu sebagai bentuk solidaritas karena ada warga miskin lain yang tak dapat kartu BLT akibat buruknya sistem adminsitrasi kependudukan negara.

Kalau ada warga yang “mutung”, maka sudah menjadi tugas elit pemerintah untuk  menanggapinya secara arif. Bukankah elit pemerintah juga sering disebut pamong praja. Pamong itu artinya orang yang tugasnya “ngemong”, atau melindungi rakyat. Jadi, isi komunikasi politik yang “menantang”, justru ibarat bensin yang diteteskan di tengah bara api yang tengah menyala. 

Andi Malarangeng, jubir Presiden SBY, juga mengembangkan komunikasi politik serupa. Presiden SBY katanya memilih mengorbankan karier politik dan popularitasnya dengan menaikkan harga BBM daripada jika tidak menaikkan harga BBM. Keputusan itu katanya, diambil demi menyelamatkan perekonomian nasional agar tidak menjadikan rakyat semakin sengsara. Tentu saja rakyat tahu bahwa keputusan menaikkan harga BBM tidak ada hubungannya dengan karier politik atau popularitas SBY. Menaikkan harga BBM semata adalah sebuah kebijakan politik. Resiko sebuah keputusan tentu saja bisa dikecam atau diterima dengan legowo. Siapapun yang mengambil keputusan politik tersebut.

Sebuah komunikasi politik yang terkesan melecehkan logika rakyat bahkan muncul tahun 2007. Ketika itu pasokan minyak tanah sempat hilang dari pasar. Dan di berbagai daerah rakyat harus antri untuk membeli minyak tanah di depot-depot. Menanggapi hal tersebut, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro, dengan enteng berujar. ”Wajar beli minyak tanah antre. Wong nonton bioskop saja antre.” Kalau mau diperpanjang lagi, bukan nonton bioskop saja yang harus antre. Tapi mengambil BLT juga harus antre. Termasuk untuk memutuskan kenaikan harga BBM!

Semua isi komunikasi politik itu diekspose di media massa. Didengar, dibaca dan dinalar oleh rakyat. Tentu dengan logika rakyat, bukan logika elit. Tapi celakanya, elit pemerintahan kita tampaknya tak pernah merasa bersalah. Mereka bahkan terkesan merasa sudah melakukan hal yang benar.


.          Peran Kenegarawanan


            Pertanyaannya, kenapa elit politik pemerintahan kerap gagal berkomunikasi dengan warganya?

            Para pembantu presiden, tampaknya tak mau belajar untuk memahami psikologi rakyat kecil. Rata-rata mereka umumnya memang bukan berasal dari keluarga miskin. Setiap hari, mereka juga tak pernah dipusingkan dengan kelangkaan BBM, naiknya harga-harga sembako, atau terjebak dalam kemacetan di siang yang terik. Mereka juga enak berkantor di ruangan yang nyaman dan dingin. Namun semua itu sudah tentu bukan alasan bagi mereka untuk tidak bisa berempati terhadap kehidupan rakyat kecil. Tanpa harus jadi miskin dulu, mereka bisa merasakan bagaimana rakyat miskin menghadapi kenaikan harga-harga sembako, atau berpanas-pansan mengantri pembagian BLT.

            Berempati artinya para elit pemerintahan mau ikut merasakan secara emosional kenyataan hidup rakyat yang sudah susah. Salah satu prasyarat utama untuk memiliki sikap empati adalah kemampuan untuk mendengarkan atau mengerti terlebih dulu sebelum didengarkan atau dimengerti oleh orang lain. Rasa empati akan memampukan elit politik menyampaikan pesan (message) dengan cara dan sikap yang akan memudahkan penerima pesan (receiver) menerimanya.

Jika sudah ada empati pada elit politik, maka mereka mampu mengembangkan komunikasi politik yang populis, empatik sekaligus santun. Artinya, isi pesan komunikasi dengan mudah dipahami dan menyejukan hati rakyat. Bahasa komunikasi yang dipilih pun penuh nuansa kerendahan hati. Bukan bahasa yang terkesan menantang atau melecehkan logika rakyat.

Sudah tentu, agar mampu mengembangkan komunikasi politik empatik, elit pemerintahan harus memiliki sikap kenegarawanan. Menurut budayawan Garin Nugroho, salah satu prasyarat kenegarawanan adalah kemampuan berkomunikasi dalam tiga aspek keutamaan. Pertama, kemampuan komunikasi antarelite untuk mempertahankan kekuasaan serta mendapat dukungan terhadap kebijakan dan pelaksanaannya. Sebutlah kemampuan diplomasi terhadap pilar-pilar utama kekuasaan politik, seperti DPR, partai, militer, hingga kelompok agama.

Kedua, kemampuan berkomunikasi kepada masyarakat umum. Tujuannya, melakukan sosialisasi dan konsultasi publik perihal kebijakan maupun pemetaan masalah, serta upaya pemecahan masalah di berbagai bidang Tugas utamanya, selain memandu masyarakat untuk mampu memahami kebijakan pembangunan sekaligus pemberdayaan serta partisipasi warga. Prasyarat ketiga kenegarawanan adalah kemampuan membangun media komunikasi bersifat publik yang kompetitif dan terakses di tengah perlombaan informasi dan komunikasi dengan media komersial.

Permasalahannya, elit pemerintahan dewasa ini tampaknya belum berhasil memisahkan perannya sebagai negarawan. Masih banyak elit pemerintah yang bermental saudagar dan menjadikan politik sebagai komoditas. Akibatnya komentar-komentar politik yang keluar lebih sering menggunakan logika dagang ketimbang logika kepentingan publik. Jika sudah begini, maka ke depan bangsa ini memang masih akan berkutat menghadapi tarik-menarik masalah  antara jabatan politik untuk bisnis, sekaligus bisnis sebagai jalan untuk berpolitik.